Dashboard

Jika ingin bertemu Allah harus mengalami empat kali mati


Siapa orang yang ingin bertemu dengan Allah, dia harus mengalami 4 kali mati, 4 kali Fana dan Tajalli 4 kali. yang dimaksud 4 kali mati disini bukanlah mati yang sebenarnya (nyawa berpisah dari jasad) melainkan  Mati Thabi`I, Mati Maknawi, MatiSyuri, Mati Hizi.

Para hukama' berkata:” ( مُوتُوا قَبْلَ أَنْ تَمُوتُوا ) matilah sebelum kamu mati”. Dalam buku Dr. Syekh H. Jalaluddin yang berjudul "Pembelaan Thariqat Shufiyah Naqsyabandiyah Jilid III telah di kupas panjang lebar, bagi seorang salik untuk mencari Allah sehingga mereka dapat merasa bertemu, sesuai dengan hadits Qudsy :

يَقُوْلُ اللّٰهُ تَعَالٰی یَا اِبْنُ اٰدَمْ اَطْلُبْنِي تَجِدُنِي

Allah berfirman: ”Wahai anak adam carilah aku, niscaya engkau dapati aku” ( Tafsir Ibnu Katsir juz Il hal. 301).

Jika mereka ikhlas mengamalkan shalat-shalat sunnat serta melaksanakan macam-macam dzikir, cara yang telah di paparkan pada thariqah ini insya Allah dia akan merasakan 4 macam mati. Serta beberapa macam fana'. Diantaranya adalah sebagai berikut :

 

1.    MATI TABI'I

KEMATIAN PANCA INDRA (LIMA INDERA: Penglihatan, Pendengaran, Penciuman, Pengecapan, dan Peraba)

TAJALLI AF’ALULLAH (MANIFESTASI PERBUATAN ALLAH); FANA’ FI AF’ALILLAH

Yang dimaksud dengan mati tabi’i adalah ketika seluruh unsur jasmani—setitik darahnya, segumpal dagingnya, tulang-belulangnya, urat-uratnya, hingga rambut dan bulunya, baik lahir maupun batin—semuanya telah mengucapkan nama Allah. Bahkan tubuhnya, secara lahir dan batin, telah mengucapkan "Allah-Allah". Pada saat itu, bumi, langit, dan seluruh alam seakan-akan terdengar baginya sedang melafalkan "Allah-Allah". Apabila seseorang wafat dalam keadaan seperti ini, maka ia termasuk orang yang meninggal dalam agama Islam yang sebenarnya.

Demikianlah keadaan seseorang yang telah merasakan mati tabi’i. Suara angin yang berhembus, tetesan air hujan, gugurnya ranting-ranting pohon, gemuruh, petir, dan kilat yang membelah bumi, serta suara binatang di darat, di laut, maupun di udara—semuanya terdengar olehnya mengeluarkan suara dari mulut masing-masing, dengan berbagai macam bunyi dan suara. Namun bagi para ahli thariqat yang telah mendapat rahmat dari Allah, semua suara itu terdengar seperti bacaan kalimah "Allah-Allah".

Secara tegas, mati tabi’i adalah keadaan di mana telinga kita tidak lagi mendengar suara selain kalimat "Allah-Allah". Hanya itulah yang terdengar, kalimat dzikir yang muncul secara otomatis, bergerak sendiri, tanpa dipaksa. Dzikir "Allah-Allah" tersebut terdengar lebih merdu dari segala suara yang ada di dunia. Kerinduan terhadap hal-hal lain pun sirna; orang tersebut hanya merindukan dan merasa senang ketika mendengar gerakan atau bunyi dzikir kalimat "Allah-Allah", yang terus berdzikir dengan sendirinya secara otomatis.


2.    MATI MA'NAWI

TAJALLI ASMA' (PENAMPAKAN NAMA ALLAH) / FANA' FI ASMA'ILLAH

Insya Allah, apabila seorang murid telah benar-benar ikhlas dan telah mendapatkan nikmat mati tabi’i, maka ia akan dianugerahi pula kenikmatan pada tingkatan kedua, yaitu mati ma’nawi. Pada tahap ini, murid merasakan dirinya—baik secara lahir maupun batin—telah lenyap. Seluruh alam semesta seolah-olah tidak ada, yang tampak hanyalah kalimah Allah. Ke mana pun ia memandang—ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, ke atas, maupun ke bawah—yang ia lihat hanyalah kalimat “Allah-Allah”.

Bentuk kalimat Allah yang dilihatnya sama persis seperti yang tertulis dalam Al-Qur’an. Namun perbedaannya, kalimat Allah tersebut bukan ditulis dengan tinta duniawi dan tidak pula tergores di atas kertas putih, melainkan ditulis dengan cahaya Nur Muhammad atau Nurullah.

Seseorang yang mengalami mati ma’nawi disebut juga telah sampai pada maqam Tajalli Asma’, yakni manifestasi nyata dari nama-nama Allah. Pada tingkat ini, antara nama dan yang memiliki nama sudah tidak terpisah lagi. Dengan kata lain, orang tersebut selalu berada dalam kebersamaan dengan nama Allah. Perhatikanlah sabda Rasulullah saw berikut ini:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ مَا مِنْ عَبْدٍ يَقُوْلُ فِي صَبَاحِ كُلِّ يَوْمٍ وَمَسَاءِ كُلِّ لَيْلَةٍ باِسْمِ اللهِ الَّذِي لاَ يَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْم ( ثَلاَثَ مَرَّاتْ ) لَمٍ يَضُرُّهُ شَئٌ


Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah seorang hamba mengucapkan setiap pagi dan setiap petang: 'Bismillahilladzi laa yadhurru ma‘a ismihi syai’un fil ardhi wa laa fis samaa’i wa huwa as-sami‘ul ‘aliim' (Dengan nama Allah, yang bersama nama-Nya tidak akan membahayakan sesuatu pun di bumi maupun di langit, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui), sebanyak tiga kali, maka tidak ada sesuatu pun yang akan membahayakannya.”

(HR. Imam Nawawi dalam Al-Adzkar, hal. 72)

Menurut keterangan dari At-Tirmidzi, Nabi saw bersabda bahwa siapa saja yang membaca dzikir tersebut tiga kali setiap pagi dan petang, maka ia akan terjaga dari segala macam bahaya.

Sedangkan menurut riwayat dari Abu Dawud, orang yang membaca dzikir tersebut akan terlindungi dari bencana yang datang secara tiba-tiba.

Namun sebaliknya, apabila seseorang belum mampu merasakan kebersamaan dengan Allah, maka segala sesuatu yang ada di langit dan bumi dapat mencelakakannya. Bahkan api dunia maupun api akhirat pun dapat membakar dirinya.


3

.    MATI SYURI

HILANG LENYAP SEGALA WARNA: TAJALLI SIFATULLAH (PENAMPAKAN SIFAT ALLAH) / FANA’ FI SIFATILLAH

Seseorang yang telah mencapai pengalaman mati tabi’i dan mati ma’nawi, apabila ia ikhlas, maka Allah akan menganugerahinya dengan merasakan mati syuhuri. Dalam keadaan ini, semua perasaan tentang keberadaan diri dan dunia telah lenyap. Yang tersisa hanyalah pancaran cahaya Ilahi semata. Cahaya itu adalah Nurullah, Nur Muhammad, Nur Af’alullah, Nur Sifatullah, Nur Dzatullah, Nur Samawi, Nur ‘ala Nur—cahaya di atas cahaya, sekali lagi: cahaya, cahaya...

Ia telah diberikan lampu penerang (pelita) untuk menuntunnya menapaki jalan yang lurus. Jalan lurus ini adalah jalan yang senantiasa kita mohonkan kepada Allah sebanyak 17 kali dalam sehari semalam saat menunaikan salat fardhu—Shirathal Mustaqim.

Walaupun seseorang menguasai bahasa Arab, hafal Al-Qur’an dan Hadits, serta menuntut ilmu puluhan tahun di Mekkah atau Madinah, jika cahaya itu tidak menerangi dadanya, maka tidak jarang mereka pun tergelincir ke jalan yang sesat—yakni melanggar perintah dan larangan Allah—karena hidup tanpa pedoman (tanpa cahaya penerang).

Perhatikanlah doa Nabi Muhammad saw. berikut ini:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي سَمْعِي نُورًا، وَفِي بَصَرِي نُورًا، وَعَنْ يَمِينِي نُورًا، وَعَنْ سِمَالِي نُورًا، وَأَمَامِي نُورًا، وَخَلْفِي نُورًا، وَفَوْقِي نُورًا، وَتَحْتِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي نُورًا

“Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, dalam pendengaranku cahaya, dalam penglihatanku cahaya, di sebelah kananku cahaya, di sebelah kiriku cahaya, di depanku cahaya, di belakangku cahaya, di atasku cahaya, di bawahku cahaya, dan jadikanlah aku penuh dengan cahaya.”

(Zadul Ma’ad, juz I, hal. 59)

Dalam riwayat lain dari Bukhari dan Muslim yang dinukil dari Ibnu Abbas ra., disebutkan bahwa Nabi saw. keluar menuju salat sambil mengucapkan:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي بَصَرِي نُورًا، وَفِي سَمْعِي نُورًا، وَعَنْ يَمِينِي نُورًا، وَخَلْفِي نُورًا، وَفِي عَصَبِي نُورًا، وَفِي لَحْمِي نُورًا، وَفِي دَمِي نُورًا، وَفِي شَعْرِي نُورًا، وَفِي بَشَرِي نُورًا

“Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, dalam penglihatanku cahaya, dalam pendengaranku cahaya, dari kananku cahaya, dari belakangku cahaya, dalam urat-uratku cahaya, dalam dagingku cahaya, dalam darahku cahaya, dalam rambutku cahaya, dalam kulitku cahaya.”

Dalam riwayat Muslim yang lain, doa tersebut berbunyi:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَفِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا

“Ya Allah, jadikanlah dalam hatiku cahaya, pada lisanku cahaya, dalam pendengaranku cahaya, dalam penglihatanku cahaya, dari belakangku cahaya, dari depanku cahaya, dari atasku cahaya, dari bawahku cahaya. Ya Allah, anugerahkanlah aku cahaya.”

(Fiqh as-Sunnah, juz II, hal. 133)

Doa lainnya yang juga disebut dalam riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas ra.:

اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَفِي بَصَرِي نُورًا، وَفِي سَمْعِي نُورًا، وَعَنْ يَمِينِي نُورًا، وَعَنْ يَسَارِي نُورًا، وَمِنْ فَوْقِي نُورًا، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا، وَمِنْ خَلْفِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي فِي نَفْسِي نُورًا، وَأَعْظِمْ لِي نُورًا

“Ya Allah, jadikanlah cahaya dalam hatiku, di lisanku, di penglihatanku, di pendengaranku, dari kananku, dari kiriku, dari atasku, dari bawahku, dari depanku, dari belakangku, dan jadikanlah dalam diriku cahaya, serta agungkanlah cahaya itu bagiku.”

(Al-Wahyul Muhammadi, hal. 101)

Meski lafaz-lafaz doa tersebut berbeda-beda, pilihlah salah satu yang dapat kita amalkan. Doa ini sering dibaca oleh Rasulullah saw. terutama ketika hendak menuju masjid atau dalam sujud beliau. Semoga kita semua dapat merutinkan salah satu doa tersebut setiap kali berjalan menuju masjid. Semoga Allah membukakan cahaya taufik-Nya, memenuhi seluruh tubuh kita dengan cahaya-Nya, dan benar-benar menganugerahkan kepada kita rasa mati syuhuri—yakni ketika segala warna dunia lenyap dalam cahaya Allah. Inilah maqam tajalli sifatullah atau fana’ fi sifatillah.

Begitu besar pengaruh cahaya (nur), sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Firman Allah dalam Surah Luqman ayat 27:

“Dan sekiranya semua pohon di bumi menjadi pena, dan lautan (menjadi tintanya), kemudian ditambah lagi tujuh lautan setelahnya, maka tidak akan habis kalimat-kalimat Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”

Demikianlah, tidak mungkin kita mengukur sepenuhnya pengaruh dari cahaya Ilahi tersebut. Bahkan dalam Al-Qur’an Allah menamai satu surah dengan nama “An-Nur” (Cahaya). Perhatikan Surah An-Nur ayat 35:

“Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang di dalamnya terdapat pelita; pelita itu berada dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang yang berkilauan, dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, yaitu pohon zaitun yang tidak tumbuh di sebelah timur maupun barat, yang minyaknya hampir-hampir menyala meski tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya. Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”


4.    MATI HISSI

MENGESAKAN DZAT / TAJALLI DZAT ALLAH

FANA’ FI DZATILLAH

Seorang hamba yang telah mengalami tiga jenis kematian—yakni kematian tabi’i (alamiah), ma’nawi (maknawi), dan syuhudi (penyaksian)—dan tetap melanjutkan amal ibadahnya dengan penuh keikhlasan, maka Allah akan menganugerahkan kepadanya pengalaman kematian keempat, yaitu mati hissi. Pada tahap ini, kesadarannya terhadap lafadz “Allah-Allah” pun lenyap, begitu juga dengan nur ilahi yang begitu terang benderang—semuanya sirna. Ini menandakan bahwa realitas lahir dan batin telah terhapus dari kesadarannya. Ia seakan-akan tidak berada di mana-mana, karena dirinya telah "dibunuh" dan yang tersisa hanyalah Allah sebagai penggantinya.

Hal ini sejalan dengan sabda Allah dalam hadits Qudsi:

لِأَنَّ العَبْدَ إِذَا أَحْبَبْتُهُ قَتَلْتُهُ، فَإِذَا قَتَلْتُهُ فَأَنَا دِيَتُهُ

“Karena jika Aku mencintai seorang hamba, maka Aku akan membunuhnya. Dan bila Aku membunuhnya, maka Akulah yang menjadi gantinya.”

Dalam riwayat lain dari kitab Miftahul Khithabah, disebutkan:

قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: قَالَ اللهُ تَعَالَى:

“Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku nyatakan perang terhadapnya. Tidak ada satu pun amalan yang lebih Aku cintai dari hamba-Ku selain apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku akan terus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Akulah pendengarannya saat ia mendengar, penglihatannya saat ia melihat, tangannya saat ia memegang, dan kakinya saat ia berjalan. Bila ia meminta sesuatu dari-Ku, pasti akan Aku kabulkan, dan bila ia meminta perlindungan, pasti akan Aku lindungi.”

(HR. al-Bukhari)

Dalam buku Pembelaan Thariqat Shufiyah Naqsyabandiyah dijelaskan bahwa seseorang yang telah mencapai maqam mati hissi, telah sampai pada pengalaman menyaksikan Allah secara batiniah. Ia telah memahami dengan dalam makna firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 115:

وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke mana pun kalian menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas (rahmat-Nya) dan Maha Mengetahui."

Kemudian dalam Surah An-Nisa’ ayat 126 Allah berfirman:

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطًا

"Dan milik Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Allah Maha Meliputi segala sesuatu."

Dan juga dalam Surah Al-Hadid ayat 3:

هُوَ ٱلۡأَوَّلُ وَٱلۡٵخِرُ وَٱلظَّٰهِرُ وَٱلۡبَاطِنُۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٌ

"Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."

 

Kesimpulan 

Orang yang merasai mati hisi, itulah orang yang telah sampai dengan rahmat Allah pada Maqam Tadjalli Zat Allah (nyata zat Allah)

Orang yang merasai mati suri, itulah orang yang telah sampai dengan rhmat Allah pda Maqam Tadjalli Shiftullah (nyata sifat Allah)

Orang merasai mati ma'nawi, itulah orang yang telah sampai dengan rahmat Alah pada Maqam Tadjalli Asma' Allah (nyata namaAllah)

Orang yang merasai mati Tabi'i, itulah orang yang telah sampai dengan rahmat Allah pada maqam Tadjalli Af'allullah (nyata perbuatan Allah) Kalau anda belum mengetahui apa yang dikatakan keempat macam mati yang diterangkan diatas tadi, lagi kalau belum pula merasai 4 macam itu, dihrapkan anda tidak membuka mulut untuk Terlebih menjelaskan amal-amal batin yang belum anda ketahui. baik anda diam (tawaquf), dan mintalah pertolongan Allah, semoga Allah memberikan pengertian kepada kita dalam hal-hal yang belurn anda ketahui.

Maka berkata Orang yang arif, syeikh Ahmad bin 'Alan An Nqsyabandi:

 

"مَنْ ذَاقَ طَعْمَ شَرْبِ القَوْمِ يَدْرِيهِ وَمَنْ دَارَهُ غَدَا بِالرُّوحِ يُشَيِّهِ"

 

Barang siapa yang sudah merasai minuman qaum ini (anli tasawuf)maka ia mengetahui akan rasanya. Dan barang siapa telah mengetahui akan rasa itu, niscya nanti dengan nyawa dibelinya (sekiranya ada jalan minuman itu) lihat keterngan dalam kitab "suluk nasyabndiyah

Oleh Mu'allim Al Khalid hal.34

Pada kata lain

"مَنْ ذَاقَ عَرَفَ وَمَنْ ثَمَّ يَذُقْ لَا يَعْرِفُ"

Barang siapa yang merasai niscaya ia mengetahui, dan barang siapa yang belum merasai, ia belum tahu.

Lihat: Tahdzibul Ahlak juz 1, hal 24.

Demikian pula kata lain

 "مَنْ ذَاقَ يَعْرِفُ وَمَنْ لَمْ يَذُقْ لَا يَعْرِفُ"

 Barang siapa merasai ma'rifat, niscaya berma'rifatlah ia dan barang siapa tiada merasai, tidalah ia berma'rifat!"

"مَنْ لَمْ يَذُقْ يَدْرِ"

Siapa yang tidak mearasai, belum mengetahui, artinya siapa tidak merasai rasa bertemu Tuhan, belum tahu (kenal kepada Allah) yakni merasai terlebih dahulu kemudian berulah tahu. Demikianlah tulisan yang saya pindahkan dalam kitab tersebut.